Minggu, 30 Agustus 2015

Cinta itu Dusta


"Hey, kau dengar kataku?"
Tak begitu kudengar apa kata sahabatku barusan. Pikiranku melayang. Mataku memerah. Pandanganku mulai terhalang oleh air mata yang mulai memenuhi pelupuk. Kejadian paling menyesakkan itu kembali terngiang. Membuat kepalaku pusing.
"Hmm? Kau tadi bilang apa?" Buru-buru kualihkan pandanganku ke arah temanku.
Temanku merajuk, "Yaah tuhkan ternyata daritadi kau tak mendengarkan ceritaku?".

Aku hampir tak mendengar kata terakhir yang diucapkan sahabatku. Pikiranku kembali menerawang. Masa-masa kelam. Kulihat bunga yang masih kuncup bergelayut mesra di tangkai pohon itu. Udara sore menyapa meski tak terasa. Aku tengah duduk di kamar kost sahabatku kala itu. Menikmati pembicaraan yang aku sendiri tak begitu memperhatikan. Mentari semakin condong ke barat. Pemandangan syahdu yang kutatap dari balik jendela. Tapi pandanganku kosong, pikiranku menyusuri kejadian suram. Ruang-ruang kenangan kelam yang sudah kututup paksa kini meronta minta dibuka. Aku tak sanggup.

"Hey, kau kenapa?". Sontak sahabatku membuyarkan lamunanku.
"Eh, oh, hmm, aku gapapa". Jawabku gelagapan sambil menahan airmata yang hampir tumpah.

Rania, begitulah nama sahabatku. Dia gadis yang ramah, murah senyum, cantik, baik, dan polos. Sifatnya yang polos itulah yang membuatnya kadang dijahili oleh teman-teman yang lain. Aku mengenalnya sejak awal masuk kuliah di universitas ini. Kita mulai akrab saat terbiasa melakukan hal bersama. Makan bersama, menghabiskan jam istirahat bersama, atau hal lainnya bersama.

"Kalau kau tak apaapa, tapi mengapa daritadi tak mendengarkan ceritaku, malah asyik melamun?". Sanggahnya.

Aku sebenarnya ingin cerita padamu, Ran. Aku ingin berbagi beban ini padamu. Aku tak kuat menanggungnya sendiri. Tapi, aku malu padamu, Ran. Aku takut kau akan menjauhiku dan tak mau berteman denganku lagi. Aku takut kau jijik padaku. Tapi beban ini menyesakkan, meronta minta dibagikan padamu. Aku bimbang.

"Aku benar-benar tak apa, hanya saja pikiranku sedang kacau". Jawabku.
"Sha, ada apa?"

Maafkan aku, Ran. Aku belum siap memberitahukan padamu mengenai siapa diriku. Saat ini aku harus mengunci rapat-rapat bibirku. Membiarkan rontaan kenangan yang ingin berhamburan keluar. Aku masih kuat, setidaknya aku harus mencari waktu yang tepat untuk membagikan kisah pilu ini padamu.

Aku sengaja membuka pembicaraan lain untuk mengalihkan perhatiannya. Tak lama setelah berbincang sebentar, akupun pamit pulang.
"Hati-hati di jalan ya, Sha."
"Iya, Ran."

Namaku Shania, tapi aku lebih suka dipanggil Sasha. Seperti biasa, untuk sampai rumah dari kampus aku menaiki angkot sampai halte busway untuk berganti dengan transjakarta. Setelah itu kembali menaiki angkot untuk sampai ke jalan dekat rumah. Kampusku cukup jauh tapi masih bisa kutempuh tanpa harus mengekost seperti Rania. Aku menghabiskan waktu untuk melamun di dalam angkot. Pikiranku masih tertuju pada kenangan itu. Hampir saja halte buswaynya terlewat. Buru-buru kubayar ongkosnya dan menyeberang. Hap! Transjakartapun datang tanpa harus menunggu lama. Syukurlah aku dapat tempat duduk. Sekiranya aku tak perlu khawatir jatuh saat berdiri sambil melamun. Ah, pikiran itu sangat mengganggu!

Aku tiba di rumah pukul delapan malam. Jalanan agak macet. Kulangsung menuju ke kamar untuk melepas lelah dan penat. Aku enggan melakukan apapun. Pikiranku kacau. Harus kuakhiri pikiran ini, batinku. Mataku tak bisa diajak kompromi.  Tak lama, akupun terlelap.
........

"Sekian presentasi dari kelompok kami. Bila ada rekan-rekan yang belum paham dan ingin bertanya, kami membuka sesi tanya jawab untuk tiga orang pertama. Silakan." tutur sang moderator kelompok presentasi di kelas.

Aku tak memperhatikan materi yang dipresentasikan barusan. Sedaritadi aku hanya melamun. Membaca hand out materi yang dibagikan pun enggan. Posisi dudukpun berubah-ubah karena aku tak nyaman. Sedikit-sedikit kulirik arlojiku. Ah, jam keluar masih lama. Psikologi Pendidikan; biasanya mata kuliah ini selalu menarik. Tapi kali ini aku sedang tak bersemangat. Apa lagi sebabnya kalau bukan karena pikiranku yang sedang kacau. Masa lalu kelam itu lagi-lagi merongrongku.

"Alhamdulillah, semua pertanyaan telah terjawab. Semoga materi yang telah kami sampaikan dapat dimengerti oleh rekan-rekan. Baiklah, kami akhiri diskusi kelompok hari ini dan terimakasih atas perhatiannya. Assalamu'alaikum wr.wb." tukas moderator.

Akhirnya diskusi kelompok berakhir tapi jam mata kuliah ini belum berakhir. Huh! Aku melorotkan badan di kursi. Bosan. Lalu dosen menyampaikan komentarnya tentang kelompok presentasi kali ini serta menambahkan materi yang belum disampaikan oleh pemateri presentasi. Aku mendengarkannya sambil mencorat-coret kertas. Biar disangka aku sedang mencatat materi padahal entah aku sedang menggambar apa.
"Hey, kau sedang apasih?". Tangganku disenggol oleh teman sebelahku. Rupanya ia memperhatikan tingkahku daritadi.
"Menggambar". Jawabku jujur.
"Oh, yampun. Kukira kau sedang mencatat". Tukasnya.
"Ehehe aku sedang malas". Selorohku.

Oh jarum jam cepatlah kau berputar. Aku sudah sangat bosan. Perkataan dosenpun sudah tak lagi kuperhatikan. Pikiran ini benar-benar mengganggu. Ternyata benar kata orang; orang yang sakit pikiran lebih berbahaya daripada orang yang sakit fisik.

Jam 12.00 tepat. Yes!
"Ada yang ingin bertanya?". Tanya dosen yang ekor matanya menyapukan pandangan ke seluruh mahasiswa sambil menunggu jawaban.
Hening tak ada jawaban. Itu tandanya tak ada yang bertanya.
"Baiklah, jika tak ada yang bertanya. Kita akhiri perkuliahan hari ini. Assalamu'alaikum wr.wb."
"Wa'alaikumsalam wr.wb." mahasiswa sekelas menjawab kompak.

Huaah akhirnya, aku menghembuskan nafas lega. Kurapikan barang-barangku dan menggamit tasku. Aku bangkit dari tempat duduk dan keluar dari kelas. Setelah melewati pintu, aku bingung hendak kemana. Aku malas pulang ke rumah. Kuberpikir sambil berdiri di depan kelas. Tetiba Rania menjawil lenganku, "Hey, Sha. Kau mau kemana?"
"Entahlah, kau mau kemana?". Jawabku.
"Aku mau pulang ke kostan, apa kau mau ikut?"
"Baiklah". Aku menyetujui dan berjalan di sampingnya.

Sesampainya di kostan aku hanya duduk terdiam. Rania sepertinya bingung dengan sikapku yang tak seperti biasanya. Tapi dia hanya mendiamkanku. Mungkin dia memahami kalau aku sedang sedih pasca putusnya hubunganku dengan seseorang. Padahal aku tidak sedih karena itu. Bukan itu yang aku sedihkan. Aku menyedihkan diriku sendiri. Aku penyebab hal ini terjadi. Semua karena kebodohanku.
"Kau sedang sedih, ya? Apa ada masalah?". Ranita mengagetkanku.
"Iya, aku ingin cerita padamu, Ran." ucapku. Kuputuskan untuk menceritakan hal ini padanya. Mungkin ini saat yang tepat. Aku percaya dia.
"Tentang apa?".
"Tentang masa laluku, Ran. Tapi aku takut kau akan malu berteman denganku setelah mengetahuinya." jawabku.
"Ada apa memangnya?" tanyanya lagi.
"Aku... Aku.. Aku menyesal, Ran. Aku sangat bodoh. Aku menyesal." jawabku sambil tak kuasa menahan tangis.
"Ternyata dia tidak baik, Ran. Dia jahat padaku. Dia jahat. Dia pergi dariku setelah membuatku seperti sampah. Meski aku yang memutuskannya karena aku sudah tidak kuat lagi dengan sikapnya, tapi dia yang jahat. Dia yang membuatku begini, Ran. Dia membuatku sakit pikiran. Dia membuatku tak bernilai. Dia penuh kebohongan. Dia menghancurkanku, Ran. Dia lelaki jahat. Dia bukan orang baik. Dia tidak sebaik penampilannya. Dia..." aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku.
"APA?!" Rania seakan tak percaya.

Aku memeluk Rania erat. Tangisku membanjir. Hatiku sesak. Pikiranku dipenuhi kejadian kelam itu. Rania mencoba menenangkanku. Kuceritakan setiap detailnya dengan sesegukan. Penyesalan ini begitu menyakitkan. Rania menyodorkan sekotak tissue padaku. Kuseka airmataku. Kuceritakan semua kebodohanku dengan sedu sedan. Ran, maafkan aku. Pasti kau tak menyangka kalau aku begini, kan?

"Sudah kubilang kan, jangan coba-coba pacaran. Begini akibatnya. Pacaran itu cuma bikin sakit hati. Pacaran itu cuma dilakukan lelaki untuk bersenang-senang. Tiada keseriusan di dalamnya. Bila sudah bosan lelaki dengan mudahnya pergi. Tak peduli berapa lama kau menjalin hubungan dengannya. Cinta yang dikatakan lelaki saat pacaran itu hanya omong kosong. Dusta belaka." Rania menasihatiku.

Aku diam membeku. Penyesalan ini menunjukkan sebegitu bodohnya diriku. Harusnya aku tahu bahwa sejak awal memang dia tak baik. Harusnya aku waspada saat dia mencoba mendekatiku. Harusnya aku paham bahwa dia adalah seorang playboy saat mengetahui deretan mantannya. Tapi mengapa aku seakan tutup mata dengan semua itu. Bodoh! Benar-benar bodoh! Airmataku kembali menetes.
"Sudahlah, hentikan tangisanmu. Penyesalan memang selalu datang di akhir. Tapi menyesali hal itu adalah perbuatan sia-sia. Tiada guna. Bersyukurlah kau masih disadarkan Tuhan. Itu artinya Tuhan masih sayang padamu." sambung Rania.

Kupeluk Rania lagi, "Tapi aku sulit melupakan masa lalu itu. Semakin kucoba untuk melupakannya, malah semakin teringat. Hatiku perih saat sepotong kejadian itu melintas di pikiran. Aku ingin lupa, Ran. Aku ingin lupa. Aku benci."

"Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidupmu. Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya."
Aku hanya tersenyum saat Rania menasihatiku dengan mengutip kalimat dalam novel "RINDU”, Tere Liye. Benar. Buat apa dilupakan? Mau seberapapun disesali, masa lalu takkan sedikitpun berubah. Masa lalu akan tetap bertengger dengan pongahnya. Buat apa dilawan? Toh masa lalu tidak akan pernah menang. Masa lalu akan tetap tertinggal di belakang.

"Seka air matamu, Sha. Tak pantas kau menangisi lelaki seperti itu. Orang yang sedang kau tangisi sekarang boleh jadi tidak pernah menangisimu. Atau bahkan dia sudah lupa denganmu. Jadikan ini pelajaran, Sha. Cinta lelaki yang hanya ingin main-main itu dusta. Pacaran itu omong kosong."

"Dan satu hal yang harus kau ingat, Sha. Aku tidak malu berteman denganmu." Rania kembali memelukku.
Hatiku lega. Terima kasih, Ran.

Senja di Peron 3

SENJA DI PERON 3

Senja, kutatap lagi kau di peron 3
Lama kita tak bersua
Taptapgrusukgrusukkresblablablataptap
Blablabladukdukdukkres
Senja, kau lihat kan hiruk pikuk di sini
Hiruk pikuk berteman temaram senja
Kuperhatikan langkah-langkah mereka sampai lelah
Sampai ingin memejamkan mata
Berharap keajaiban meraup mereka dan menjadikannya tiada
Gredekgredektutjess jessjessjess
Oh senja, kaptenku datang
Kaptenku datang menawarkan kepulangan
Dia makin mendekat dan berhenti pasti
Terbuka seluruh pintunya dan aku bebas masuk lewat pintu manapun
Dukdukdukgrubukgrubuk grepyess tapyaah
Oh senja, aku tidak bisa masuk
Aku masih menunggu sesuatu yang harus ditunggu
Kaptenku masih menawarkan kepulangan, masih menunggu
Tapi, lihatlah senja
Kini seluruh tubuh kaptenku terisi penuh
Dia ingin meninggalkanku, senja
Lihatlah
Pelan dan pasti dia pergi
Meninggalkan aku yang masih duduk dan menatapmu
Jessjessjessgredekgredekgredek
Kini peron 3ku lengang dan kau?
Kau masih saja di situ; Senja



Bogor, 17 Agustus 2015

Selasa, 11 Agustus 2015

Etika Bersepatu


"Aduh..."
Tak sengaja kakiku terantuk batu. Ah, ini karena aku melamun terus dari tadi dan tak memerhatikan langkah. Batinku. Kuteruskan melangkah. Tapi, tunggu sebentar. Ada yang tidak beres pada sepatuku. Kutengok sebentar bagian alasnya. Wah, bagian ujungnya sedikit menganga karena terantuk batu barusan. Mungkin ini waktunya mengganti sepatuku dengan yang baru. Memang sudah lama sepatu ini menemani langkahku. Setahun lebih. Tidak pernah kuganti sepatuku dan hanya ini saja. Aku terus memakainya karena aku merasa nyaman. Lagipula sepatuku belum rusak jadi untuk apa aku ganti. Hari demi hari sepatu ini terus menemaniku dan mungkin kini tiba masanya untuk sepatuku beristirahat dan digantikan dengan sepatu baru.

Suatu hari seorang teman bertanya padaku, "Kok kamu mengenakan sepatu yang itu-itu terus? Apa tidak bosan? Apa tidak ada sepatu yang lain?".
Aku tersenyum seraya berkata, "Aku suka mengenakan sepatu ini, dan sepatu ini memberikanku kenyamanan. Lagipula sepatuku belum rusak jadi untuk apa aku ganti?"

Mungkin baginya aku tidak trendy karena hanya punya sepasang sepatu dan selalu kupakai tanpa menggantinya sebelum rusak. Tapi apa peduliku, toh aku nyaman dan aku punya etika bersepatu. Etika bersepatu? Apa itu? Istilah aneh. Ya, mungkin aneh bagi kalian tapi tidak bagiku. Menurutku, mengenakan sepatu itu butuh etika.

Pertama, bagiku sepatu punya nyawa. Makanya aku tidak mengganti sepatuku dengan yang baru sebelum ia usang atau rusak. Aku bisa saja membeli dua atau tiga pasang sepatu sekaligus dan mengenakannya bergantian toh aku punya uang untuk membelinya. Tapi membeli sepatu yang nyaman dikenakan, ukurannya pas di kaki, warnanya sesuai dengan yang diinginkan, dan harganya klop itu perlu waktu untuk mencari dan memilihnya. Buang-buang waktu menurutku. Lagipula mengoleksi banyak sepatu menuntut perawatan yang lebih. Tidak bisa sembarangan diletakkan begitu saja di rak sepatu. Membosankan. Makanya aku lebih suka mempunyai sepasang sepatu dan baru akan menggantinya setelah usang atau rusak. Simple. Lagipula dengan begitu sepatuku tidak perlu beriri-irian dengan sepatuku yang lain di rak sepatu. Sudah kukatakan di awal bahwa sepatu punya nyawa, bukan? Begitulah caraku menghargai nyawanya.

Kedua, bagiku sepatu adalah partner. Partner dalam segala hal. Partner berjalan, berlari, melompat, menyusuri jalan beraspal, bertanah, berbatu, menanjak, menurun, menikung, dsb. Aku sayang sepatuku. Dia yang menemani langkahku dalam kondisi apapun. Dia yang tak pernah mengeluh saat kuajak berlari, kuinjak, berjalan di aspal yang panas, di jalan yang becek. Tak pernah sekalipun mengeluh walau kuletakkan begitu saja di rak sepatu. Pun tak mengeluh saat berminggu-minggu lamanya baru kucuci. Dia benar-benar partner yang setia. Kusayang kau dan takkan kuganti sebelum kau rusak.

Ketiga, bagiku sepatu adalah pelindung kakiku. Dia yang menjaga telapak kakiku agar tak terluka saat berjalan. Dia yang melindungi kakiku dari beling, paku, duri, serpihan kayu, kerikil tajam, yang mungkin akan melukai kakiku. Dia baiiikkkk sekali, bukan? Dia juga melindungi kakiku dari panasnya aspal kala siang, dan beceknya jalan kala hujan. Pokoknya aku sayaaang sepatuku.

Keempat, bagiku sepatu adalah travelmateku. Aku senang menyusuri jalan kala malam, bertemu dengan orang-orang baru, menikmati dinginnya udara malam, menyaksikan gemerlapnya malam, menjejakkan kaki di tempat yang belum pernah kusinggahi, menyapa sungai, pohon, pantai, bebatuan, air terjun, menjejalkan diri di bus kota, di kereta, di angkot. Pokoknya aku suka jalan-jalan dan sepatuku adalah travelmateku. Diapun tak protes saat aku melewati jalan yang sama, berputar-putar di jalan yang itu-itu juga, atau mondar-mandir di jalan yang sebenarnya aku hafal tapi aku lupa. Aku tidak pernah bosan dengan sepatuku karena ia juga tak pernah bosan menemani kemanapun aku pergi.

Dan yang terakhir, bagiku sepatu adalah benda yang paling mengertiku jadi aku harus berbuat begitupula padanya. Aku harus menjaganya agar tidak cepat usang, rajin membersihkannya agar tidak terlihat kotor, menempatkannya di rak sepatu agar terlihat rapi, membuatnya menjadi yang satu-satunya sebelum ia rusak. Pokoknya aku harus membuatnya nyaman agar ia juga setia padaku.

Gimana? Sudah paham dengan etika bersepatu yang kumaksud? Begitulah caraku memperlakukan sepasang sepatu yang kupunya. Hmm kalau dipikir-pikir etika bersepatu ini bisa dianalogikan dengan etika berpasangan. Pasangan hidup tentunyaaa. Dalam ikatan halal lho yaa. Ada satu quote yang menarik untuk analogi ini, "Jika cinta mampu membuat wanita bertahan pada satu pria, mengapa cinta tak mampu membuat pria bertahan pada satu wanita" (Asma Nadia, Surga yang tak Dirindukan).

Sepatu Impian


Sudah lama aku memimpikan punya sepatu baru yang bagus, sporty, elegan, keren, bermerk original, berwarna favorit, dan yang terpenting nyaman dipakai serta ukurannya pas di kaki. Hmm kriteria-kriteria super wah yang kusebutkan barusan haruslah sebanding dengan kemampuanku untuk membelinya. Pasti mahal ya harganya. Tentu. Aku harus mengecek isi dompet apakah aku punya uang yang cukup untuk membelinya atau tidak. Dan ternyataaa isi dompetku hampir kosong, tak ayal hanya ada seorang Pak Oto Iskandar Di Nata, dua orang Pangeran Antasari, dan seorang Kapitan Pattimura. Yaah.. Kalau segini tidaklah cukup untuk membeli sepatu impian itu. Buru-buru kutepis keinginan untuk memiliki sepatu impian itu sekarang. Tidak mungkin memilikinya dengan uang segini. Bisa-bisa aku ditertawakan oleh sang empunya toko beserta karyawannya.

Dunia ini sangat adil. Bahkan benar-benar adil. Karena Sang pengatur dunia ini telah menuliskan keadilan sedetailnya di skenarioNya. Tidak ada yang dibuat rugi atas segala usaha yang telah dilakoni pemainnya. Benar-benar adil. Usaha berbanding lurus dengan hasil. Tapi terkadang tak semua hasil berbanding lurus dengan keinginan. Skenario Pencipta sedang berjalan. Pemain hanya perlu diminta mencoba lagi dan terus berusaha. Hasil terbaik akan mengikuti seiring langkah usaha dan doa-doa yang dipanjatkan.

Begitupun dengan keinginanku terhadap sepatu impian. Aku sangat ingin memilikinya tapi apakah pantas bila melihat amat kecil kemampuanku untuk membelinya. Tak pantas. Tengoklah isi dompetmu, wahai diri. Isi dompetmu hanya mampu untuk membeli sepatu karet yang dijual di pinggir jalan. Bisa dipakai sih tapi jauuuh dari kata bermerk ataupun elegan. Sadar dirilah, kemampuanmu tak sebanding dengan keinginanmu. Tak pantas kau berharap memiliki sesuatu setinggi langit jika kau hanya mampu mendongakkan kepala. Tak ada usaha untuk menggapainya. Tapi aku benar-benar ingin memilikinya, sungguh. Tapi aku teringat satu hal "kepunyaanmu adalah cerminan kemampuanmu". Jika aku ingin memilikinya aku harus menabung, menabung, dan menabung. Aku harus memangkas habis kebiasaanku bersikap boros. Aku harus merayu dan mendekatkan diri pada Tuhan agar Dia memberikanku rezeki untuk membeli sepatu itu. Aku harus memantaskan isi dompetku.

Proses memantaskan isi dompet itu bukanlah hal yang asik. Dibutuhkan pengorbanan memangkas keinginan remeh-temeh lainnya. Prosesnya pun tidak sebentar karena dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengumpulkan seorang demi seorang Kapitan Pattimura agar dipimpin oleh belasan Pak Soekarno-Hatta. Lagi-lagi aku teringat satu hal "kepunyaanmu adalah cerminan kemampuanmu". Semangat! Jika aku ingin maka aku harus berusaha. Oya aku mendengar bisikan lelembut, katanya "Curi aja sepatu itu dari tokonya. Beres, kan? Kau bisa punya sepatu impian dengan cara cepat!". Hushh! Buru-buru kuusir lelembut penghasut kurang ajar itu. Mana mungkin kita memiliki sesuatu yang baik dengan cara yang tidak baik. Cara yang jelas-jelas tak diridhoi Tuhan. Seandainya kita medapatkannya dengan cara itu lantas kita pamerkan dan gadang-gadangkan dengan predikat sepatu terbaik pun tiada guna, tidak berkah, hasil curian, hati tak tenang, was-was suatu saat ketahuan dan berakhir jadi cacian bahkan hukuman tahanan. Aih seram! Ya, makanya jangan pernah kau mendekati api yang berkobar kalau kau tak mau terbakar.

Ya sudahlah, tak mengapa bila saat ini aku belum bisa memiliki sepatu impianku. Mungkin belum waktunya karena isi dompet pun tak mendukung. Menabunglah, pantaskan isi dompet. Jangan sekalipun melanggar aturan Tuhan demi mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Sekalipun jangan. Karena sesuatu yang baik selalu diperuntukkan bagi orang-orang yang baik pula. Tak akan terbalik. Tak akan tertukar. Janji Tuhan itu pasti. Tuhan takkan bohong. Tuhan takkan semena-mena membuat janji lalu melepaskan dan mengingkarinya. Sedetikpun tidak akan. Dekatkan, gantungkan, dan pasrahkan hidupmu hanya pada Tuhan maka kau tak akan kecewa.


Tapi aku pernah termakan bujukan setan. Sudahlah tak mengapa, kawan. Setan memanglah setan. Lekaslah bertaubat, mintalah ampunan. Berjanjilah kau takkan sudi jatuh di lubang jahanam yang sama untuk yang kesekian. Namun, saat ini kau harus menebus dosamu dengan mendekam di tahanan untuk waktu sekian-sekian. Tak mengapa, teruslah mohon ampunan. Bukankah Tuhan maha pengampun? Percayalah itu. Akan tiba masamu untuk bebas dari tahanan. Kau akan menghirup udara luar dan kembali memantaskan isi dompetmu, kawan. Ada kabar bahagia untukmu, sepatu impianmu akan jadi kenyataan. Tapi entah itu kapan. Masih rahasia Tuhan. Tak apa, aku akan menunggu rahasiaMu menjadi kenyataan, Tuhan.

Jumat, 07 Agustus 2015

Aku Sampah? Ya!

Masa lalu. Aku tau takkan mudah orang lain menerima masa lalu. Apalagi masa lalu seperti aku. Masa lalu yang kelam. Masa lalu yang membuat oranglain tercengang bila mengetahuinya. Masa lalu yang membuat sesalku tak habis di makan waktu. Sekelumit peristiwa pahit yang enggan aku ungkit tapi terasa begitu nyelekit berharap tak pernah aku rakit. Rumit. Sesal tiada guna. Semua sudah terjadi. Semua peristiwa yang telah tertinggal di belakang selalu menyita sesal tiada akhir. Andai aku tak sebodoh itu. Andai aku begini. Andai aku begitu. Andai.. Ah, andai! Segala perandaian semakin membuatku sesak. Kini, ku tak dihargai. Tak ada yang sudi menghargaiku. Untuk apa menghargai seonggok sampah menjijikan yang tiada guna. Bodoh! Mengapa aku begitu bodoh? Kini lihat! Lihatlah sekelilingmu. Orang-orang menatap nanar padamu. Orang-orang enggan mendekatimu. Orang-orang jijik padamu. Orang-orang tiada yang sanggup berlama-lama di dekatmu. Bodoh, bodoh, bodoh! Teruslah merutuki diri, toh siapa yang peduli. Orang yang kau anggap bisa menerimamu pun kini telah pergi. Meninggalkan jejak yang sama pula. Membuatmu semakin terlihat seperti sampah. Haha sampah. Kau sampah! Bukan, bukan. Kau permen karet. Ya, permen karet. Habis manis sepah dibuang. Hahaha perumpamaan bodoh. Lihatlah dirimu. Ringkih. Tak ada yang sudi memungutmu, sampah. Kau makin terbuang. Coba katakan padaku, siapa orang baik (red. Bodoh) yang sudi memungutmu? Paling-paling orang itu hanya bertahan sebentar seperti yang sudah-sudah setelah itu pergi saat tau siapa dirimu. Lalu kau mau apa? Mau protes pada masa lalumu? Silakan, protes sesukamu. Toh itu tidak mengubah apapun. Tak akan mengubah sampah sepertimu menjadi mutiara. Tak akan!

Kata seorang teman: "Sampah bisa didaur ulang menjadi barang yang bemanfaat". Percuma, sekali sampah tetap sampah. Oh, malang nian nasibmu, sampah. Hahaha aku sampah.

Tapi aku bertekad untuk mendaur ulang diriku. Setidaknya menjadi sampah yang berguna. Percuma, kau sudah jatuh dua kali, sampah! Usahamu sia-sia. Diam kau! Ku tak butuh cacianmu! Hargailah sedikit usahaku. Biarpun aku sampah aku masih punya hati. Aku masih punya nyawa. Aku masih punya raga. Aku memang tak akan pernah jadi mutiara. Selamanya tak akan. Orang yang membuatku menjadi sampah pun sudah lari, sudah mati. Lalu aku bisa apa? Aku tak mungkin merutuki diri tiap waktu. Aku tak minta kau kasihani. Tidak, sama sekali tidak.

Lantas, kemana orang yang barubaru ini mengatakan cinta padamu? Dia sudah pergi. Pergi? Hahaha diapun pergi karena mengetahui kau sampah, bukan? Ya. Sekarang terimalah nasibmu, sampah. Diam, kau! Sekarang begini saja, lebih baik kau bakar habis dirimu agar sekalian kau jadi abu hahaha. Usul konyol, takkan pernah ku lakukan! Lantas, apa maumu? Kau bertanya apa mauku? Ya. Aku mau mendaur ulang diriku. Mendaur ulang haha menjadi apa? Entahlah setidaknya aku ingin sedikit berguna. Terlambat! Mengapa begitu? Sudah tak ada satupun dari bagian dirimu yang bisa kau daur ulang. Apa? Ya, kau sudah jatuh dua kali ingat itu! Hahaha dasar bodoh, makanya jadi orang jangan bodoh, pikir baik-baik sebelum bertindak sebelum kau menjadi sampah. Ya, aku menyesal. Tiada guna! Kau tetaplah sampah! Diaaaamm!

Hening....

Lama-lama aku bisa gila berdebat dengan diriku sendiri. Suara-suara berdengung di kepala laksana ribuan tawon menggerutu. Diaamm, aku muak! Hahaha sampah!

Puluhan bahkan ratusan kata-kata motivasi telah kubaca untuk mengetahui cara bangkit dari keterpurukan dan cara mendaur ulang sampah. Tapi tetap, bergulatan batin ini seakan tak berujung. Gusar, lebih gusar, makin gusar. Bagaimana bila selamanya diriku adalah sampah. Bagaimana bila proses daur ulang diriku gagal, berhenti di tengah jalan, atau bahkan berjalan mundur. Bagaimana bila tak ada satupun orang yang sudi menerima bentuk daur ulangku. Bagaimana? Hahaha itu risikomu, sampah! Diam kau, aku tak butuh pendapatmu. Apa kau tega bila aku selamanya begini? Aku sebetulnya kasihan padamu. Aku tak butuh kau kasihani. Lalu? Aku hanya butuh kau mengerti. Tolong bantu aku untuk keluar dari lubang setan ini, tolong. Jangan mengemis padaku. Ah, dasar kau! Tak berhati, dingin!

Terseok, lambat laun langkah kakiku makin tak menentu arah. Hendak kemana akupun tak tau. Masih adakah pintu-pintu kebahagiaan yang sudi kuketuk? Aku haus. Aku lelah. Aku tak kuat lagi. Serasa ingin mati. Memangnya sampah bisa mati? Bukannya memang sudah mati? Diaaamm!

Sampah adalah benda tak terpakai yang telah dibuang; tak berharga; tiada guna. Ah, itu memang layak disebut diriku. Aku memang sampah. Lelah ku memikirkan semua ini. Serasa kering airmataku menangisi nasib ini. Nasib sial sepanjang waktu. Hanya karena tingkah bodoh perangkap setan. Hahaha kasihan. Diam atau kusumpal mulutmu!

Kemana lagi kuharus berjalan. Tak adakah tempat singgah? Sekadar untuk melepas lelahku. Biarkan aku beristirahat. Aku sudah lelah mengapus lelehan airmata ini. Aku ingin istirahat; sebentar atau mungkin selamanya. Tak ada harapan lagi untukku. Takkan pernah ada. Takkan ada punggung yang bersedia menjadi tempat aku bersandar. Walaupun aku telah mendaur ulang diriku. Rasanya pasti berbeda dibandingkan dengan benda yang belum menjadi sampah lantas didaur ulang. Beginilah nasibku. Nasib seonggok sampah.

Masa lalu yg kututup paksa, yang tak ingin aku ingat, kini kembali menggerogotiku. Aku tak berani menatap masa depan. Masa depan bagiku hanyalah omong kosong. Gelap. Kelam. Terkunci rapat. Menakutkan. Suram. Tak ada setitik cahaya menerangi. Semua bisu. Beku. Kaku. Aku seorang buta yang berjalan menyusuri kegelapan masa depan. Dengan sekelumit masa lalu pahit yang menyayat kulit. Aku ingin berhenti. Terduduk. Terdiam. Menangis. Hatiku perih. Teriris. Tak ada tenaga untuk melanjutkan hidup. Buta. Gelap. Sunyi. Telapak tanganku dipenuhi ribuan luka sayatan saat menyusuri jalan-jalan kegelapan. Perih. Nyeri. Sakit. Kakiku selalu terantuk setiap kali mencoba berjalan lurus. Jalan yang (katanya) diridhoi Tuhan. Namun, jalan itupun tak sudi kulalui. Aku terbuang dalam kelam. Tak ada cahaya. Tak ada harapan. Tak ada jalan. Buntu. Gelap. Sesak. Hampir sulit ku bernafas. Hahaha rasakan!

Kemana? Kemana orang-orang yang mengaku peduli padaku? Aku sendiri. Terasing. Sunyi. Aku dibuat bungkam. Aku tak sanggup mengelak. Tak berdaya. Pasrah. Hanya segini kesanggupanmu? Katanya kau kuat? Katanya kau mampu? Katanya kau berani? Haha ternyata omong kosong semua tentang dirimu. Diaam kauu! Coba kau rasakan jadi aku. Rasakan jadi orang terbuang. Rasakan jadi sampah. Rasakan jadi bahan hinaan orang. Rasakan jadi orang yang tak satupun orang lain sudi memungut. Coba rasakan!

Hening...

Sudahlah jangan membuat dirimu semakin hina. Apa kau bilang? Turuti kataku. Huh, aku tak sudi! Pernahkah kau mendengar seorang alim berkata: Sampah bisa didaur ulang meski hasilnya tak utuh lagi seperti sedia kala bahkan menjadi sesuatu yang lain. Bersungguh-sungguhlah dalam mendaur ulang karena meski tak ada orang yang sudi membelimu setidaknya Tuhanmu masih mau menerimamu. Kau kerasukan setan apa? Apa maksudmu, ada yang salah? Tidak, tumben sekali kau menasihatiku biasanya kau hanya mencaciku. Aku hanya bosan mendengar kau mengeluh. Apa urusanmu, itu urusanku!

Benarkah Tuhanku masih mau menerimaku? Benarkah Dia masih sayang padaku? Benarkah Dia mau membantuku menyusuri jalan gelap masa depan? Benarkah? Jangan ragukan kebaikan Tuhan. Tuhan maha segala-galanya! Tapi... Aku takut. Aku malu. Aku menyesal, Tuhan. Ampuni aku. Aku tersesat. Aku pernah menjadi teman setan. Ampuni aku, Tuhan. Ampuni aku.

Racauku semakin menjadi-jadi. Jika Kau tak menolongku, niscaya aku benar-benar menjadi orang tersesat. Bantu aku mendaur ulang diri, Tuhan. Biarlah masa lalu kelam bagiku. Dan biarlah masa depan menjadi urusanMu. Aku pasrah, Tuhan. Ampuni aku. Kau pemilik hidup dan matiku.
Haha rasakan kau pahitnya menjadi sampah! Diam kau, aku ingin sendiri, tolong jangan ganggu aku. Baiklah.

Hening..

Kurapatkan kedua mataku. Aku benar-benar lelah. Aku ingin tidur. Tidur di pangkuanMu, Tuhan. Sudikah, Kau? Terimakasih Kau masih menerimaku. Masih membuatku sadar untuk mengakhiri penyesalan yang takkan pernah berakhir. sujud! Ya.

Hening.


Laa ilaa hailallaah

Kamis, 06 Agustus 2015

Terbanglah

"Maafkan abang neng. Kamu baik. Kamu sgat sayang sma abang. Dan abang sgat suka itu. Tp berhubung jarak pernikahan yg masih lama terpaksa kita harus merasakan pil pahit perpisahan demi kebaikan kamu dan abang."

Tik.. Tik.. Tak terasa butiran hangat menetes dari sudut mataku, mengalir di pipiku. Kubaca pesan itu berulang-ulang untuk meyakinkan apa yang kubaca barusan tidak salah. Kupertegas dengan pertanyaan, jadi? Kita pisah? Butiran hangat kembali menetes. Oh secepat inikah? 6 bulan yang lalu kita kenal. Selama 6 bulan itulah aku mencoba memahamimu, menerimamu, menyayangimu. Tapi detik ini juga ku harus menerima kenyataan untuk melepasmu. Waktu yang amat singkat. Begitu singkat malah. Kuberusaha meyakinkan diri bahwa ini mungkin yang terbaik. Melepaskanmu demi menghindari penyesalan. Melepaskanmu sebelum mendapatkanmu. Meski sulit tapi harus.

Tik.. Tik.. Airmataku semakin deras tatkala aku mengenang semua hal saat bersamamu. Detik-detik yang pernah kita lewati. Begitu singkat. Terlalu singkat malah. Perjumpaan kita yang bisa dihitung dengan jari. Perjumpaan yang amat aku rindukan. Ternyata malam itu adalah malam terakhir perjumpaan kita. Pantas saja hatiku amat berat melepasmu pulang. Kadang aku pura-pura menjadi oranglain saat berjumpa denganmu untuk menutup rinduku yang teramat. Agar kau tak tahu betapa aku merindukan perjumpaan itu. Aku memahami bahwa tak bisa setiap saat kita bertemu. Aku mengerti, mencoba mengerti lebih tepatnya.

Kini, semua usai. Biarkan aku menangis sejenak mengiringi kepergianmu. Adakah kebahagiaan mengiringi kepergian? Hanya pendusta yang mampu melakoninya. Andai kau tau, aku begitu menyayangimu. Tapi saat kau memutuskan untuk pergi, aku bisa apa? Selain mendoakan yang terbaik untukmu. Semoga keputusan kita untuk berpisah ini adalah pangkal pembenahan diri. Jalan kita belum berujung. Entah kapan di hari nanti kita akan bertemu kembali. Mungkin dengan ujung simpul yang berbeda. Entahlah skenario Tuhan sedang berjalan. Aku pasrah.

"Neng. Jgan menangis. Abang akan tetep menyapa kamu kok. Abang ga akan menjauh dan menghindar dr kamu."

Itu katamu. Terseguk aku membacanya. Kata-kata yang mungkin kau sendiri tak kan mampu menepatinya. Aku tau kau berkata begitu hanya untuk menghiburku, bukan? Kau tidak benar-benar ingin mengatakan itu, kan? Sekadar pemanis agar aku tidak bersedih. Aku tau itu. Tapi aku telah terlanjur menangis bang sebelum kau bilang jangan. Jangan larang aku. Aku ingin menangis sepuasnya. Sampai rasa sesak ini berhenti mengoyak hati. Kubiarkan tetes airmata mengering sendiri di pipi tanpa perlu aku mengusapnya. Perih. Walau perkenalan kita singkat tapi tetap meninggalkan jejak dalam. Kalau tidak, untuk apa aku menangis.

Kau bilang cinta yang mengganjal hatimu untuk pergi dariku. "Cinta? Huh, cinta! Sehari dua hari juga cinta itu akan luruh setelah kau pergi dariku". Aku sudah kepalangtanggung untuk menahan diri dari emosi yang meluap. Tapi nyatanya cinta tak mampu untuk menahanmu agar tidak pergi. Kau tetap pergi. Kuberusaha tegar dan seolah senang melepasmu pergi. Padahal kenyataannya aku sungguh tak ingin. Aku ingin kau tetap di sini. Di sini ya di sini. Jangan pergi. Tapi terlambat. Kini kau sudah pergi. Pergi meninggalkan aku yang semakin terseok karena beban ini, perih ini. Aku makin jadi abu. Sudahlah jangan pedulikan aku. Pergilah. Aku tak mengapa walau sesaknya terasa menguliti hati. Selamat jalan, doaku mengiringi kepergianmu.


-Dari aku yang purapura tak mencintaimu.