"Hey,
kau dengar kataku?"
Tak
begitu kudengar apa kata sahabatku barusan. Pikiranku melayang. Mataku memerah.
Pandanganku mulai terhalang oleh air mata yang mulai memenuhi pelupuk. Kejadian
paling menyesakkan itu kembali terngiang. Membuat kepalaku pusing.
"Hmm?
Kau tadi bilang apa?" Buru-buru kualihkan pandanganku ke arah temanku.
Temanku
merajuk, "Yaah tuhkan ternyata daritadi kau tak mendengarkan
ceritaku?".
Aku
hampir tak mendengar kata terakhir yang diucapkan sahabatku. Pikiranku kembali
menerawang. Masa-masa kelam. Kulihat bunga yang masih kuncup bergelayut mesra
di tangkai pohon itu. Udara sore menyapa meski tak terasa. Aku tengah duduk di
kamar kost sahabatku kala itu. Menikmati pembicaraan yang aku sendiri tak
begitu memperhatikan. Mentari semakin condong ke barat. Pemandangan syahdu yang
kutatap dari balik jendela. Tapi pandanganku kosong, pikiranku menyusuri
kejadian suram. Ruang-ruang kenangan kelam yang sudah kututup paksa kini
meronta minta dibuka. Aku tak sanggup.
"Hey,
kau kenapa?". Sontak sahabatku membuyarkan lamunanku.
"Eh,
oh, hmm, aku gapapa". Jawabku gelagapan sambil menahan airmata yang hampir
tumpah.
Rania,
begitulah nama sahabatku. Dia gadis yang ramah, murah senyum, cantik, baik, dan
polos. Sifatnya yang polos itulah yang membuatnya kadang dijahili oleh
teman-teman yang lain. Aku mengenalnya sejak awal masuk kuliah di universitas
ini. Kita mulai akrab saat terbiasa melakukan hal bersama. Makan bersama,
menghabiskan jam istirahat bersama, atau hal lainnya bersama.
"Kalau
kau tak apaapa, tapi mengapa daritadi tak mendengarkan ceritaku, malah asyik
melamun?". Sanggahnya.
Aku
sebenarnya ingin cerita padamu, Ran. Aku ingin berbagi beban ini padamu. Aku
tak kuat menanggungnya sendiri. Tapi, aku malu padamu, Ran. Aku takut kau akan
menjauhiku dan tak mau berteman denganku lagi. Aku takut kau jijik padaku. Tapi
beban ini menyesakkan, meronta minta dibagikan padamu. Aku bimbang.
"Aku
benar-benar tak apa, hanya saja pikiranku sedang kacau". Jawabku.
"Sha,
ada apa?"
Maafkan
aku, Ran. Aku belum siap memberitahukan padamu mengenai siapa diriku. Saat ini
aku harus mengunci rapat-rapat bibirku. Membiarkan rontaan kenangan yang ingin
berhamburan keluar. Aku masih kuat, setidaknya aku harus mencari waktu yang
tepat untuk membagikan kisah pilu ini padamu.
Aku
sengaja membuka pembicaraan lain untuk mengalihkan perhatiannya. Tak lama
setelah berbincang sebentar, akupun pamit pulang.
"Hati-hati
di jalan ya, Sha."
"Iya,
Ran."
Namaku
Shania, tapi aku lebih suka dipanggil Sasha. Seperti biasa, untuk sampai rumah
dari kampus aku menaiki angkot sampai halte busway untuk berganti dengan
transjakarta. Setelah itu kembali menaiki angkot untuk sampai ke jalan dekat
rumah. Kampusku cukup jauh tapi masih bisa kutempuh tanpa harus mengekost
seperti Rania. Aku menghabiskan waktu untuk melamun di dalam angkot. Pikiranku
masih tertuju pada kenangan itu. Hampir saja halte buswaynya terlewat.
Buru-buru kubayar ongkosnya dan menyeberang. Hap! Transjakartapun datang tanpa
harus menunggu lama. Syukurlah aku dapat tempat duduk. Sekiranya aku tak perlu
khawatir jatuh saat berdiri sambil melamun. Ah, pikiran itu sangat mengganggu!
Aku
tiba di rumah pukul delapan malam. Jalanan agak macet. Kulangsung menuju ke
kamar untuk melepas lelah dan penat. Aku enggan melakukan apapun. Pikiranku
kacau. Harus kuakhiri pikiran ini, batinku. Mataku tak bisa diajak
kompromi. Tak lama, akupun terlelap.
........
"Sekian
presentasi dari kelompok kami. Bila ada rekan-rekan yang belum paham dan ingin
bertanya, kami membuka sesi tanya jawab untuk tiga orang pertama.
Silakan." tutur sang moderator kelompok presentasi di kelas.
Aku
tak memperhatikan materi yang dipresentasikan barusan. Sedaritadi aku hanya
melamun. Membaca hand out materi yang dibagikan pun enggan. Posisi dudukpun
berubah-ubah karena aku tak nyaman. Sedikit-sedikit kulirik arlojiku. Ah, jam
keluar masih lama. Psikologi Pendidikan; biasanya mata kuliah ini selalu
menarik. Tapi kali ini aku sedang tak bersemangat. Apa lagi sebabnya kalau
bukan karena pikiranku yang sedang kacau. Masa lalu kelam itu lagi-lagi
merongrongku.
"Alhamdulillah,
semua pertanyaan telah terjawab. Semoga materi yang telah kami sampaikan dapat
dimengerti oleh rekan-rekan. Baiklah, kami akhiri diskusi kelompok hari ini dan
terimakasih atas perhatiannya. Assalamu'alaikum wr.wb." tukas moderator.
Akhirnya
diskusi kelompok berakhir tapi jam mata kuliah ini belum berakhir. Huh! Aku
melorotkan badan di kursi. Bosan. Lalu dosen menyampaikan komentarnya tentang
kelompok presentasi kali ini serta menambahkan materi yang belum disampaikan
oleh pemateri presentasi. Aku mendengarkannya sambil mencorat-coret kertas.
Biar disangka aku sedang mencatat materi padahal entah aku sedang menggambar
apa.
"Hey,
kau sedang apasih?". Tangganku disenggol oleh teman sebelahku. Rupanya ia
memperhatikan tingkahku daritadi.
"Menggambar".
Jawabku jujur.
"Oh,
yampun. Kukira kau sedang mencatat". Tukasnya.
"Ehehe
aku sedang malas". Selorohku.
Oh
jarum jam cepatlah kau berputar. Aku sudah sangat bosan. Perkataan dosenpun
sudah tak lagi kuperhatikan. Pikiran ini benar-benar mengganggu. Ternyata benar
kata orang; orang yang sakit pikiran lebih berbahaya daripada orang yang sakit
fisik.
Jam
12.00 tepat. Yes!
"Ada
yang ingin bertanya?". Tanya dosen yang ekor matanya menyapukan pandangan
ke seluruh mahasiswa sambil menunggu jawaban.
Hening
tak ada jawaban. Itu tandanya tak ada yang bertanya.
"Baiklah,
jika tak ada yang bertanya. Kita akhiri perkuliahan hari ini. Assalamu'alaikum
wr.wb."
"Wa'alaikumsalam
wr.wb." mahasiswa sekelas menjawab kompak.
Huaah
akhirnya, aku menghembuskan nafas lega. Kurapikan barang-barangku dan menggamit
tasku. Aku bangkit dari tempat duduk dan keluar dari kelas. Setelah melewati
pintu, aku bingung hendak kemana. Aku malas pulang ke rumah. Kuberpikir sambil
berdiri di depan kelas. Tetiba Rania menjawil lenganku, "Hey, Sha. Kau mau
kemana?"
"Entahlah,
kau mau kemana?". Jawabku.
"Aku
mau pulang ke kostan, apa kau mau ikut?"
"Baiklah".
Aku menyetujui dan berjalan di sampingnya.
Sesampainya
di kostan aku hanya duduk terdiam. Rania sepertinya bingung dengan sikapku yang
tak seperti biasanya. Tapi dia hanya mendiamkanku. Mungkin dia memahami kalau
aku sedang sedih pasca putusnya hubunganku dengan seseorang. Padahal aku tidak
sedih karena itu. Bukan itu yang aku sedihkan. Aku menyedihkan diriku sendiri.
Aku penyebab hal ini terjadi. Semua karena kebodohanku.
"Kau
sedang sedih, ya? Apa ada masalah?". Ranita mengagetkanku.
"Iya,
aku ingin cerita padamu, Ran." ucapku. Kuputuskan untuk menceritakan hal
ini padanya. Mungkin ini saat yang tepat. Aku percaya dia.
"Tentang
apa?".
"Tentang
masa laluku, Ran. Tapi aku takut kau akan malu berteman denganku setelah
mengetahuinya." jawabku.
"Ada
apa memangnya?" tanyanya lagi.
"Aku...
Aku.. Aku menyesal, Ran. Aku sangat bodoh. Aku menyesal." jawabku sambil
tak kuasa menahan tangis.
"Ternyata
dia tidak baik, Ran. Dia jahat padaku. Dia jahat. Dia pergi dariku setelah
membuatku seperti sampah. Meski aku yang memutuskannya karena aku sudah tidak
kuat lagi dengan sikapnya, tapi dia yang jahat. Dia yang membuatku begini, Ran.
Dia membuatku sakit pikiran. Dia membuatku tak bernilai. Dia penuh kebohongan.
Dia menghancurkanku, Ran. Dia lelaki jahat. Dia bukan orang baik. Dia tidak
sebaik penampilannya. Dia..." aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku.
"APA?!"
Rania seakan tak percaya.
Aku memeluk Rania erat. Tangisku membanjir. Hatiku sesak. Pikiranku dipenuhi kejadian kelam itu. Rania mencoba menenangkanku. Kuceritakan setiap detailnya dengan sesegukan. Penyesalan ini begitu menyakitkan. Rania menyodorkan sekotak tissue padaku. Kuseka airmataku. Kuceritakan semua kebodohanku dengan sedu sedan. Ran, maafkan aku. Pasti kau tak menyangka kalau aku begini, kan?
"Sudah kubilang kan, jangan coba-coba pacaran. Begini akibatnya. Pacaran itu cuma bikin sakit hati. Pacaran itu cuma dilakukan lelaki untuk bersenang-senang. Tiada keseriusan di dalamnya. Bila sudah bosan lelaki dengan mudahnya pergi. Tak peduli berapa lama kau menjalin hubungan dengannya. Cinta yang dikatakan lelaki saat pacaran itu hanya omong kosong. Dusta belaka." Rania menasihatiku.
Aku diam membeku. Penyesalan ini menunjukkan sebegitu bodohnya diriku. Harusnya aku tahu bahwa sejak awal memang dia tak baik. Harusnya aku waspada saat dia mencoba mendekatiku. Harusnya aku paham bahwa dia adalah seorang playboy saat mengetahui deretan mantannya. Tapi mengapa aku seakan tutup mata dengan semua itu. Bodoh! Benar-benar bodoh! Airmataku kembali menetes.
"Sudahlah,
hentikan tangisanmu. Penyesalan memang selalu datang di akhir. Tapi menyesali
hal itu adalah perbuatan sia-sia. Tiada guna. Bersyukurlah kau masih disadarkan
Tuhan. Itu artinya Tuhan masih sayang padamu." sambung Rania.
Kupeluk Rania lagi, "Tapi aku sulit melupakan masa lalu itu. Semakin kucoba untuk melupakannya, malah semakin teringat. Hatiku perih saat sepotong kejadian itu melintas di pikiran. Aku ingin lupa, Ran. Aku ingin lupa. Aku benci."
"Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidupmu. Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya."
Aku
hanya tersenyum saat Rania menasihatiku dengan mengutip kalimat dalam novel
"RINDU”, Tere Liye. Benar. Buat apa dilupakan? Mau seberapapun disesali,
masa lalu takkan sedikitpun berubah. Masa lalu akan tetap bertengger dengan
pongahnya. Buat apa dilawan? Toh masa lalu tidak akan pernah menang. Masa lalu
akan tetap tertinggal di belakang.
"Seka air matamu, Sha. Tak pantas kau menangisi lelaki seperti itu. Orang yang sedang kau tangisi sekarang boleh jadi tidak pernah menangisimu. Atau bahkan dia sudah lupa denganmu. Jadikan ini pelajaran, Sha. Cinta lelaki yang hanya ingin main-main itu dusta. Pacaran itu omong kosong."
"Dan satu hal yang harus kau ingat, Sha. Aku tidak malu berteman denganmu." Rania kembali memelukku.
Hatiku
lega. Terima kasih, Ran.