
"Aduh..."
Tak sengaja
kakiku terantuk batu. Ah, ini karena aku melamun terus dari tadi dan tak
memerhatikan langkah. Batinku. Kuteruskan melangkah. Tapi, tunggu sebentar. Ada
yang tidak beres pada sepatuku. Kutengok sebentar bagian alasnya. Wah, bagian ujungnya
sedikit menganga karena terantuk batu barusan. Mungkin ini waktunya mengganti
sepatuku dengan yang baru. Memang sudah lama sepatu ini menemani langkahku.
Setahun lebih. Tidak pernah kuganti sepatuku dan hanya ini saja. Aku terus
memakainya karena aku merasa nyaman. Lagipula sepatuku belum rusak jadi untuk
apa aku ganti. Hari demi hari sepatu ini terus menemaniku dan mungkin kini tiba
masanya untuk sepatuku beristirahat dan digantikan dengan sepatu baru.
Suatu hari
seorang teman bertanya padaku, "Kok kamu mengenakan sepatu yang itu-itu
terus? Apa tidak bosan? Apa tidak ada sepatu yang lain?".
Aku tersenyum
seraya berkata, "Aku suka mengenakan sepatu ini, dan sepatu ini memberikanku kenyamanan. Lagipula sepatuku belum rusak jadi untuk apa aku ganti?"
Mungkin baginya
aku tidak trendy karena hanya punya sepasang sepatu dan selalu kupakai tanpa
menggantinya sebelum rusak. Tapi apa peduliku, toh aku nyaman dan aku punya
etika bersepatu. Etika bersepatu? Apa itu? Istilah aneh. Ya, mungkin aneh bagi
kalian tapi tidak bagiku. Menurutku, mengenakan sepatu itu butuh etika.
Pertama, bagiku
sepatu punya nyawa. Makanya aku tidak mengganti sepatuku dengan yang baru
sebelum ia usang atau rusak. Aku bisa saja membeli dua atau tiga pasang sepatu
sekaligus dan mengenakannya bergantian toh aku punya uang untuk membelinya.
Tapi membeli sepatu yang nyaman dikenakan, ukurannya pas di kaki, warnanya
sesuai dengan yang diinginkan, dan harganya klop itu perlu waktu untuk mencari
dan memilihnya. Buang-buang waktu menurutku. Lagipula mengoleksi banyak sepatu
menuntut perawatan yang lebih. Tidak bisa sembarangan diletakkan begitu saja di
rak sepatu. Membosankan. Makanya aku lebih suka mempunyai sepasang sepatu dan
baru akan menggantinya setelah usang atau rusak. Simple. Lagipula dengan begitu
sepatuku tidak perlu beriri-irian dengan sepatuku yang lain di rak sepatu.
Sudah kukatakan di awal bahwa sepatu punya nyawa, bukan? Begitulah caraku
menghargai nyawanya.
Kedua, bagiku
sepatu adalah partner. Partner dalam segala hal. Partner berjalan, berlari,
melompat, menyusuri jalan beraspal, bertanah, berbatu, menanjak, menurun,
menikung, dsb. Aku sayang sepatuku. Dia yang menemani langkahku dalam kondisi
apapun. Dia yang tak pernah mengeluh saat kuajak berlari, kuinjak, berjalan di
aspal yang panas, di jalan yang becek. Tak pernah sekalipun mengeluh walau
kuletakkan begitu saja di rak sepatu. Pun tak mengeluh saat berminggu-minggu
lamanya baru kucuci. Dia benar-benar partner yang setia. Kusayang kau dan
takkan kuganti sebelum kau rusak.
Ketiga, bagiku
sepatu adalah pelindung kakiku. Dia yang menjaga telapak kakiku agar tak
terluka saat berjalan. Dia yang melindungi kakiku dari beling, paku, duri,
serpihan kayu, kerikil tajam, yang mungkin akan melukai kakiku. Dia baiiikkkk
sekali, bukan? Dia juga melindungi kakiku dari panasnya aspal kala siang, dan
beceknya jalan kala hujan. Pokoknya aku sayaaang sepatuku.
Keempat, bagiku
sepatu adalah travelmateku. Aku senang menyusuri jalan kala malam, bertemu
dengan orang-orang baru, menikmati dinginnya udara malam, menyaksikan gemerlapnya
malam, menjejakkan kaki di tempat yang belum pernah kusinggahi, menyapa sungai,
pohon, pantai, bebatuan, air terjun, menjejalkan diri di bus kota, di kereta,
di angkot. Pokoknya aku suka jalan-jalan dan sepatuku adalah travelmateku.
Diapun tak protes saat aku melewati jalan yang sama, berputar-putar di jalan
yang itu-itu juga, atau mondar-mandir di jalan yang sebenarnya aku hafal tapi
aku lupa. Aku tidak pernah bosan dengan sepatuku karena ia juga tak pernah
bosan menemani kemanapun aku pergi.
Dan yang terakhir,
bagiku sepatu adalah benda yang paling mengertiku jadi aku harus berbuat
begitupula padanya. Aku harus menjaganya agar tidak cepat usang, rajin
membersihkannya agar tidak terlihat kotor, menempatkannya di rak sepatu agar
terlihat rapi, membuatnya menjadi yang satu-satunya sebelum ia rusak. Pokoknya
aku harus membuatnya nyaman agar ia juga setia padaku.
Gimana? Sudah
paham dengan etika bersepatu yang kumaksud? Begitulah caraku memperlakukan
sepasang sepatu yang kupunya. Hmm kalau dipikir-pikir etika bersepatu ini bisa
dianalogikan dengan etika berpasangan. Pasangan hidup tentunyaaa. Dalam ikatan
halal lho yaa. Ada satu quote yang menarik untuk analogi ini, "Jika cinta
mampu membuat wanita bertahan pada satu pria, mengapa cinta tak mampu membuat
pria bertahan pada satu wanita" (Asma Nadia, Surga yang tak Dirindukan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar