Selasa, 11 Agustus 2015

Etika Bersepatu


"Aduh..."
Tak sengaja kakiku terantuk batu. Ah, ini karena aku melamun terus dari tadi dan tak memerhatikan langkah. Batinku. Kuteruskan melangkah. Tapi, tunggu sebentar. Ada yang tidak beres pada sepatuku. Kutengok sebentar bagian alasnya. Wah, bagian ujungnya sedikit menganga karena terantuk batu barusan. Mungkin ini waktunya mengganti sepatuku dengan yang baru. Memang sudah lama sepatu ini menemani langkahku. Setahun lebih. Tidak pernah kuganti sepatuku dan hanya ini saja. Aku terus memakainya karena aku merasa nyaman. Lagipula sepatuku belum rusak jadi untuk apa aku ganti. Hari demi hari sepatu ini terus menemaniku dan mungkin kini tiba masanya untuk sepatuku beristirahat dan digantikan dengan sepatu baru.

Suatu hari seorang teman bertanya padaku, "Kok kamu mengenakan sepatu yang itu-itu terus? Apa tidak bosan? Apa tidak ada sepatu yang lain?".
Aku tersenyum seraya berkata, "Aku suka mengenakan sepatu ini, dan sepatu ini memberikanku kenyamanan. Lagipula sepatuku belum rusak jadi untuk apa aku ganti?"

Mungkin baginya aku tidak trendy karena hanya punya sepasang sepatu dan selalu kupakai tanpa menggantinya sebelum rusak. Tapi apa peduliku, toh aku nyaman dan aku punya etika bersepatu. Etika bersepatu? Apa itu? Istilah aneh. Ya, mungkin aneh bagi kalian tapi tidak bagiku. Menurutku, mengenakan sepatu itu butuh etika.

Pertama, bagiku sepatu punya nyawa. Makanya aku tidak mengganti sepatuku dengan yang baru sebelum ia usang atau rusak. Aku bisa saja membeli dua atau tiga pasang sepatu sekaligus dan mengenakannya bergantian toh aku punya uang untuk membelinya. Tapi membeli sepatu yang nyaman dikenakan, ukurannya pas di kaki, warnanya sesuai dengan yang diinginkan, dan harganya klop itu perlu waktu untuk mencari dan memilihnya. Buang-buang waktu menurutku. Lagipula mengoleksi banyak sepatu menuntut perawatan yang lebih. Tidak bisa sembarangan diletakkan begitu saja di rak sepatu. Membosankan. Makanya aku lebih suka mempunyai sepasang sepatu dan baru akan menggantinya setelah usang atau rusak. Simple. Lagipula dengan begitu sepatuku tidak perlu beriri-irian dengan sepatuku yang lain di rak sepatu. Sudah kukatakan di awal bahwa sepatu punya nyawa, bukan? Begitulah caraku menghargai nyawanya.

Kedua, bagiku sepatu adalah partner. Partner dalam segala hal. Partner berjalan, berlari, melompat, menyusuri jalan beraspal, bertanah, berbatu, menanjak, menurun, menikung, dsb. Aku sayang sepatuku. Dia yang menemani langkahku dalam kondisi apapun. Dia yang tak pernah mengeluh saat kuajak berlari, kuinjak, berjalan di aspal yang panas, di jalan yang becek. Tak pernah sekalipun mengeluh walau kuletakkan begitu saja di rak sepatu. Pun tak mengeluh saat berminggu-minggu lamanya baru kucuci. Dia benar-benar partner yang setia. Kusayang kau dan takkan kuganti sebelum kau rusak.

Ketiga, bagiku sepatu adalah pelindung kakiku. Dia yang menjaga telapak kakiku agar tak terluka saat berjalan. Dia yang melindungi kakiku dari beling, paku, duri, serpihan kayu, kerikil tajam, yang mungkin akan melukai kakiku. Dia baiiikkkk sekali, bukan? Dia juga melindungi kakiku dari panasnya aspal kala siang, dan beceknya jalan kala hujan. Pokoknya aku sayaaang sepatuku.

Keempat, bagiku sepatu adalah travelmateku. Aku senang menyusuri jalan kala malam, bertemu dengan orang-orang baru, menikmati dinginnya udara malam, menyaksikan gemerlapnya malam, menjejakkan kaki di tempat yang belum pernah kusinggahi, menyapa sungai, pohon, pantai, bebatuan, air terjun, menjejalkan diri di bus kota, di kereta, di angkot. Pokoknya aku suka jalan-jalan dan sepatuku adalah travelmateku. Diapun tak protes saat aku melewati jalan yang sama, berputar-putar di jalan yang itu-itu juga, atau mondar-mandir di jalan yang sebenarnya aku hafal tapi aku lupa. Aku tidak pernah bosan dengan sepatuku karena ia juga tak pernah bosan menemani kemanapun aku pergi.

Dan yang terakhir, bagiku sepatu adalah benda yang paling mengertiku jadi aku harus berbuat begitupula padanya. Aku harus menjaganya agar tidak cepat usang, rajin membersihkannya agar tidak terlihat kotor, menempatkannya di rak sepatu agar terlihat rapi, membuatnya menjadi yang satu-satunya sebelum ia rusak. Pokoknya aku harus membuatnya nyaman agar ia juga setia padaku.

Gimana? Sudah paham dengan etika bersepatu yang kumaksud? Begitulah caraku memperlakukan sepasang sepatu yang kupunya. Hmm kalau dipikir-pikir etika bersepatu ini bisa dianalogikan dengan etika berpasangan. Pasangan hidup tentunyaaa. Dalam ikatan halal lho yaa. Ada satu quote yang menarik untuk analogi ini, "Jika cinta mampu membuat wanita bertahan pada satu pria, mengapa cinta tak mampu membuat pria bertahan pada satu wanita" (Asma Nadia, Surga yang tak Dirindukan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar