Kamis, 06 Agustus 2015

Terbanglah

"Maafkan abang neng. Kamu baik. Kamu sgat sayang sma abang. Dan abang sgat suka itu. Tp berhubung jarak pernikahan yg masih lama terpaksa kita harus merasakan pil pahit perpisahan demi kebaikan kamu dan abang."

Tik.. Tik.. Tak terasa butiran hangat menetes dari sudut mataku, mengalir di pipiku. Kubaca pesan itu berulang-ulang untuk meyakinkan apa yang kubaca barusan tidak salah. Kupertegas dengan pertanyaan, jadi? Kita pisah? Butiran hangat kembali menetes. Oh secepat inikah? 6 bulan yang lalu kita kenal. Selama 6 bulan itulah aku mencoba memahamimu, menerimamu, menyayangimu. Tapi detik ini juga ku harus menerima kenyataan untuk melepasmu. Waktu yang amat singkat. Begitu singkat malah. Kuberusaha meyakinkan diri bahwa ini mungkin yang terbaik. Melepaskanmu demi menghindari penyesalan. Melepaskanmu sebelum mendapatkanmu. Meski sulit tapi harus.

Tik.. Tik.. Airmataku semakin deras tatkala aku mengenang semua hal saat bersamamu. Detik-detik yang pernah kita lewati. Begitu singkat. Terlalu singkat malah. Perjumpaan kita yang bisa dihitung dengan jari. Perjumpaan yang amat aku rindukan. Ternyata malam itu adalah malam terakhir perjumpaan kita. Pantas saja hatiku amat berat melepasmu pulang. Kadang aku pura-pura menjadi oranglain saat berjumpa denganmu untuk menutup rinduku yang teramat. Agar kau tak tahu betapa aku merindukan perjumpaan itu. Aku memahami bahwa tak bisa setiap saat kita bertemu. Aku mengerti, mencoba mengerti lebih tepatnya.

Kini, semua usai. Biarkan aku menangis sejenak mengiringi kepergianmu. Adakah kebahagiaan mengiringi kepergian? Hanya pendusta yang mampu melakoninya. Andai kau tau, aku begitu menyayangimu. Tapi saat kau memutuskan untuk pergi, aku bisa apa? Selain mendoakan yang terbaik untukmu. Semoga keputusan kita untuk berpisah ini adalah pangkal pembenahan diri. Jalan kita belum berujung. Entah kapan di hari nanti kita akan bertemu kembali. Mungkin dengan ujung simpul yang berbeda. Entahlah skenario Tuhan sedang berjalan. Aku pasrah.

"Neng. Jgan menangis. Abang akan tetep menyapa kamu kok. Abang ga akan menjauh dan menghindar dr kamu."

Itu katamu. Terseguk aku membacanya. Kata-kata yang mungkin kau sendiri tak kan mampu menepatinya. Aku tau kau berkata begitu hanya untuk menghiburku, bukan? Kau tidak benar-benar ingin mengatakan itu, kan? Sekadar pemanis agar aku tidak bersedih. Aku tau itu. Tapi aku telah terlanjur menangis bang sebelum kau bilang jangan. Jangan larang aku. Aku ingin menangis sepuasnya. Sampai rasa sesak ini berhenti mengoyak hati. Kubiarkan tetes airmata mengering sendiri di pipi tanpa perlu aku mengusapnya. Perih. Walau perkenalan kita singkat tapi tetap meninggalkan jejak dalam. Kalau tidak, untuk apa aku menangis.

Kau bilang cinta yang mengganjal hatimu untuk pergi dariku. "Cinta? Huh, cinta! Sehari dua hari juga cinta itu akan luruh setelah kau pergi dariku". Aku sudah kepalangtanggung untuk menahan diri dari emosi yang meluap. Tapi nyatanya cinta tak mampu untuk menahanmu agar tidak pergi. Kau tetap pergi. Kuberusaha tegar dan seolah senang melepasmu pergi. Padahal kenyataannya aku sungguh tak ingin. Aku ingin kau tetap di sini. Di sini ya di sini. Jangan pergi. Tapi terlambat. Kini kau sudah pergi. Pergi meninggalkan aku yang semakin terseok karena beban ini, perih ini. Aku makin jadi abu. Sudahlah jangan pedulikan aku. Pergilah. Aku tak mengapa walau sesaknya terasa menguliti hati. Selamat jalan, doaku mengiringi kepergianmu.


-Dari aku yang purapura tak mencintaimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar