"Maafkan abang neng. Kamu baik. Kamu sgat
sayang sma abang. Dan abang sgat suka itu. Tp berhubung jarak pernikahan yg
masih lama terpaksa kita harus merasakan pil pahit perpisahan demi kebaikan
kamu dan abang."
Tik.. Tik.. Tak terasa
butiran hangat menetes dari sudut mataku, mengalir di pipiku. Kubaca pesan itu
berulang-ulang untuk meyakinkan apa yang kubaca barusan tidak salah. Kupertegas
dengan pertanyaan, jadi? Kita pisah?
Butiran hangat kembali menetes. Oh secepat inikah? 6 bulan yang lalu kita kenal.
Selama 6 bulan itulah aku mencoba memahamimu, menerimamu, menyayangimu. Tapi
detik ini juga ku harus menerima kenyataan untuk melepasmu. Waktu yang amat
singkat. Begitu singkat malah. Kuberusaha meyakinkan diri bahwa ini mungkin
yang terbaik. Melepaskanmu demi menghindari penyesalan. Melepaskanmu sebelum
mendapatkanmu. Meski sulit tapi harus.
Tik.. Tik.. Airmataku
semakin deras tatkala aku mengenang semua hal saat bersamamu. Detik-detik yang
pernah kita lewati. Begitu singkat. Terlalu singkat malah. Perjumpaan kita yang
bisa dihitung dengan jari. Perjumpaan yang amat aku rindukan. Ternyata malam itu adalah malam terakhir perjumpaan kita. Pantas saja hatiku amat berat melepasmu pulang. Kadang aku
pura-pura menjadi oranglain saat berjumpa denganmu untuk menutup rinduku yang
teramat. Agar kau tak tahu betapa aku merindukan perjumpaan itu. Aku memahami
bahwa tak bisa setiap saat kita bertemu. Aku mengerti, mencoba mengerti lebih
tepatnya.
Kini, semua usai.
Biarkan aku menangis sejenak mengiringi kepergianmu. Adakah kebahagiaan
mengiringi kepergian? Hanya pendusta yang mampu melakoninya. Andai kau tau, aku
begitu menyayangimu. Tapi saat kau memutuskan untuk pergi, aku bisa apa? Selain
mendoakan yang terbaik untukmu. Semoga keputusan kita untuk berpisah ini adalah
pangkal pembenahan diri. Jalan kita belum berujung. Entah kapan di hari nanti
kita akan bertemu kembali. Mungkin dengan ujung simpul yang berbeda. Entahlah
skenario Tuhan sedang berjalan. Aku pasrah.
"Neng. Jgan menangis. Abang akan tetep
menyapa kamu kok. Abang ga akan menjauh dan menghindar dr kamu."
Itu katamu. Terseguk
aku membacanya. Kata-kata yang mungkin kau sendiri tak kan mampu menepatinya.
Aku tau kau berkata begitu hanya untuk menghiburku, bukan? Kau tidak
benar-benar ingin mengatakan itu, kan? Sekadar pemanis agar aku tidak bersedih.
Aku tau itu. Tapi aku telah terlanjur menangis bang sebelum kau bilang jangan.
Jangan larang aku. Aku ingin menangis sepuasnya. Sampai rasa sesak ini berhenti
mengoyak hati. Kubiarkan tetes airmata mengering sendiri di pipi tanpa perlu
aku mengusapnya. Perih. Walau perkenalan kita singkat tapi tetap meninggalkan jejak
dalam. Kalau tidak, untuk apa aku menangis.
Kau bilang cinta yang
mengganjal hatimu untuk pergi dariku. "Cinta?
Huh, cinta! Sehari dua hari juga cinta itu akan luruh setelah kau pergi dariku".
Aku sudah kepalangtanggung untuk menahan diri dari emosi yang meluap. Tapi nyatanya cinta tak mampu untuk menahanmu agar tidak pergi. Kau tetap pergi. Kuberusaha tegar dan seolah senang melepasmu pergi. Padahal kenyataannya aku
sungguh tak ingin. Aku ingin kau tetap di sini. Di sini ya di sini. Jangan
pergi. Tapi terlambat. Kini kau sudah pergi. Pergi meninggalkan aku yang semakin
terseok karena beban ini, perih ini. Aku makin jadi abu. Sudahlah jangan
pedulikan aku. Pergilah. Aku tak mengapa walau sesaknya terasa menguliti hati.
Selamat jalan, doaku mengiringi kepergianmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar